18.08 -
Model Pembelajaran CTL
No comments
Model Pembelajaran Contextual Teaching Learning (CTL)
Pembelajaran kontekstual adalah terjemahan dari istilah Contextual Teaching Learning (CTL). Kata contextual berasal dari kata contex yang berarti “hubungan, konteks, suasana, atau keadaan”. Dengan demikian contextual diartikan ”yang berhubungan dengan suasana (konteks). Sehingga Contextual Teaching Learning (CTL) dapat diartikan sebagi suatu pembelajaran yang berhubungan dengan suasana tertentu.
Pembelajaran kontekstual didasarkan
pada hasil penelitian John Dewey (1916) yang menyimpulkan bahwa siswa akan
belajar dengan baik jika apa yang dipelajari terkait dengan apa yang telah
diketahui dan dengan kegiatan atau peristiwa yang terjadi disekelilingnya.
Pengajaran kontekstual sendiri
pertama kali dikembangkan di Amerika Serikat yang diawali dengan
dibentuknya Washington State Consortum for Contextual oleh Departemen
Pendidikan Amerika Serikat. Antara tahun 1997 sampai tahun 2001 sudah diselenggarakan
tujuh proyek besar yang bertujuan untuk mengembangkan, menguji, serta melihat
efektifitas penyelenggaraan pengajaran matematika secara kontekstual. Proyek
tersebut melibatkan 11 perguruan tinggi, dan 18 sekolah dengan mengikutsertakan
85 orang guru dan profesor serta 75 orang guru yang sudah diberikan pembekalan
sebelumnya.
Penyelenggaraan program ini berhasil
dengan sangat baik untuk level perguruan tinggi sehingga hasilnya
direkomendasikan untuk segera disebarluaskan pelaksanaannya. Untuk
tingkat sekolah, pelaksanaan dari program ini memperlihatkan suatu hasil
yang signifikan, yakni meningkatkan ketertarikan siswa untuk belajar, dan
meningkatkan partisipasi aktif siswa secara keseluruhan.
Pembelajaran kontekstual berbeda
dengan pembelajaran konvensional, Departemen Pendidikan Nasional (2002:5)
mengemukakan perbedaan antara pembelajaran Contextual Teaching Learning (CTL)
dengan pembelajaran konvensional sebagai berikut:
CTL
|
Konvensional
|
Pemilihan informasi kebutuhan individu siswa;
|
Pemilihan informasi ditentukan oleh guru;
|
Cenderung mengintegrasikan beberapa bidang
(disiplin);
|
Cenderung terfokus pada satu bidang (disiplin)
tertentu;
|
Selalu mengkaitkan informasi dengan pengetahuan awal
yang telah dimiliki siswa;
|
Memberikan tumpukan informasi kepada siswa sampai
pada saatnya diperlukan;
|
Menerapkan penilaian autentik melalui melalui
penerapan praktis dalam pemecahan masalah;
|
Penilaian hasil belajar hanya melalui kegiatan
akademik berupa ujian/ulang
|
Karakteristik
Pendekatan Contextual Teaching Learning (CTL)
Pembelajaran kontekstual melibatkan
tujuh komponen utama dari pembelajaran produktif yaitu : konstruktivisme
(Constructivism), bertanya (Questioning), menemukan (Inquiry),
masyarakat belajar (Learning Community), pemodelan (Modelling),
refleksi (Reflection) dan penilaian yang sebenarnya (Authentic
Assessment) (Depdiknas, 2003:5).
1.
Konstruktivisme (Constructivism)
Setiap individu
dapat membuat struktur kognitif atau mental berdasarkan
pengalaman mereka maka setiap individu dapat membentuk konsep atau ide baru,
ini dikatakan sebagai konstruktivisme (Ateec, 2000). Fungsi guru disini
membantu membentuk konsep tersebut melalui metode penemuan (self-discovery),
inquiri dan lain sebagainya, siswa berpartisipasi secara aktif dalam membentuk
ide baru.
Menurut Piaget pendekatan
konstruktivisme mengandung empat kegiatan inti, yaitu :
1)
Mengandung pengalaman nyata (Experience);
2)
Adanya interaksi sosial (Social interaction);
3)
Terbentuknya kepekaan terhadap lingkungan (Sense making);
4)
Lebih memperhatikan pengetahuan awal (Prior Knowledge).
Konstruktivisme merupakan landasan
berpikir (filosofi) pendekatan kontekstual, yaitu bahwa pengetahuan dibangun
oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang
terbatas.
Pengetahuan bukanlah seperangkat
fakta-fakta, konsep atau kaidah yang siap diambil atau diingat. Manusia harus
mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata.
Berdasarkan pada pernyataan tersebut, pembelajaran harus dikemas menjadi proses
“mengkonstruksi” bukan menerima pengetahuan (Depdiknas, 2003:6).
Sejalan dengan pemikiran Piaget
mengenai kontruksi pengetahuan dalam otak. Manusia memiliki struktur pengetahuan
dalam otaknya, seperti kotak-kotak yang masing-masing berisi informasi bermakna
yang berbeda-beda. Setiap kotak itu akan diisi oleh pengalaman yang dimaknai
berbeda-beda oleh setiap individu. Setiap pengalaman baru akan dihubungkan
dengan kotak yang sudah berisi pengalaman lama sehingga dapat
dikembangkan. Struktur pengetahuan dalam otak manusia dikembangkan melalui dua
cara yaitu asimilasi dan akomodasi.
2. Bertanya
(Questioning)
Bertanya merupakan
strategi utama dalam pembelajaran kontekstual. Kegiatan
bertanya digunakan oleh guru untuk mendorong, membimbing dan menilai kemampuan
berpikir siswa sedangkan bagi siswa kegiatan bertanya merupakan bagian penting
dalam melaksanakan pembelajaran yang berbasis inquiry.
Dalam sebuah pembelajaran yang produktif, kegiatan bertanya berguna
untuk :
1)
Menggali informasi, baik administratif maupun akademis;
2)
Mengecek pengetahuan awal siswa dan pemahaman siswa;
3)
Membangkitkan respon kepada siswa;
4)
Mengetahui sejauh mana keingintahuan siswa;
5)
Memfokuskan perhatian siswa pada sesuatu yang dikehendaki guru;
6)
Membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan dari siswa;
7)
Menyegarkan kembali pengetahuan siswa.
3. Menemukan
(Inquiry)
Menemukan merupakan
bagian inti dari pembelajaran berbasis CTL. Pengetahuan
dan keterampilan yang diperoleh siswa bukan hasil mengingat seperangkat
fakta-fakta tetapi hasil dari menemukan sendiri (Depdiknas, 2003). Menemukan
atau inkuiri dapat diartikan juga sebagai proses pembelajaran didasarkan pada
pencarian dan penemuan melalui proses berpikir secara sistematis. Secara umum
proses inkuiri dapat dilakukan melalui beberapa langkah, yaitu :
1)
Merumuskan masalah ;
2)
Mengajukan hipotesis;
3)
Mengumpulkan data;
4) Menguji
hipotesis berdasarkan data yang ditemukan;
5)
Membuat kesimpulan.
Melalui proses berpikir yang
sistematis, diharapkan siswa memiliki sikap ilmiah, rasional, dan
logis untuk pembentukan kreativitas siswa.
4.
Masyarakat belajar (Learning Community)
Konsep Learning Community
menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerjasama dengan orang lain.
Hasil belajar itu diperoleh dari sharing antarsiswa, antarkelompok, dan antar
yang sudah tahu dengan yang belum tahu tentang suatu materi. Setiap elemen
masyarakat dapat juga berperan disini dengan berbagi pengalaman (Depdiknas,
2003).
5. Pemodelan
(Modeling)
Pemodelan dalam pembelajaran
kontekstual merupakan sebuah keterampilan atau pengetahuan tertentu dan
menggunakan model yang bisa ditiru. Model itu bisa berupa cara mengoperasikan
sesuatu atau guru memberi contoh cara mengerjakan sesuau. Dalam arti guru
memberi model tentang “bagaimana cara belajar”. Dalam pembelajaran kontekstual,
guru bukanlah satu-satunya model. Model dapat dirancang dengan melibatkan
siswa.
Menurut Bandura dan Walters, tingkah
laku siswa baru dikuasai atau dipelajari mula-mula dengan mengamati dan meniru
suatu model. Model yang dapat diamati atau ditiru siswa digolongkan menjadi :
1.
Kehidupan yang nyata (real life), misalnya
orang tua, guru, atau orang lain.;
2.
Simbolik (symbolic), model yang dipresentasikan
secara lisan, tertulis atau dalam bentuk gambar ;
3.
Representasi (representation), model yang
dipresentasikan dengan menggunakan alat-alat audiovisual, misalnya televisi dan
radio.
6. Refleksi
(Reflection)
Refleksi merupakan cara berpikir
tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir kebelakang tentang apa yang
sudah kita lakukan di masa lalu. Siswa mengendapkan apa yang baru dipelajarinya
sebagai struktur pengetahuan yang baru. Struktur pengetahun yang baru ini
merupakan pengayaan atau revisi dari pengetahuan sebelumnya. Refleksi
merupakan respon terhadap kejadian, aktivitas, atau pengetahun yang baru
diterima (Depdiknas, 2003).
Pada kegiatan pembelajaran, refleksi
dilakukan oleh seorang guru pada akhir pembelajaran. Guru menyisakan waktu
sejenak agar siswa dapat melakukan refleksi yang realisasinya dapat berupa :
1.
Pernyataan langsung tentang apa-apa yang
diperoleh pada pembelajaran yang baru saja dilakukan.;
2.
Catatan atau jurnal di buku siswa;
3.
Kesan dan saran mengenai pembelajaran yang telah
dilakukan.
7. Penilaian
yang sebenarnya (Authentic Assessment)
Penilaian autentik merupakan proses
pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar
siswa agar guru dapat memastikan apakah siswa telah mengalami proses belajar
yang benar. Penilaian autentik menekankan pada proses pembelajaran sehingga
data yang dikumpulkan harus diperoleh dari kegiatan nyata yang dikerjakan siswa
pada saat melakukan proses pembelajaran.
Karakteristik authentic
assessment menurut Depdiknas (2003) di antaranya: dilaksanakan selama dan
sesudah proses belajar berlangsung, bisa digunakan untuk formatif maupun
sumatif, yang diukur keterampilan dan sikap dalam belajar bukan mengingat
fakta, berkesinambungan, terintegrasi, dan dapat digunakan sebagai feedback.
Authentic assessment biasanya berupa kegiatan yang dilaporkan, PR, kuis,
karya siswa, prestasi atau penampilan siswa, demonstrasi, laporan, jurnal,
hasil tes tulis dan karya tulis.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Pendidikan Nasional.
2003. Pendekatan Kontekstual. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Nurhadi. 2003. Pendekatan
Kontekstual. Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional.
Sumber:
http://herdy07.wordpress.com/2010/05/27/model-pembelajaran-contextual-teaching-learning-ctl/
0 komentar:
Posting Komentar