16.35 -
No comments
Baterai Berbahan Gelas
Baterai menggunakan bahan dari
gelas?
Bagaimana bisa gelas yang bersifat
isolator dapat digunakan sebagai penghantar listrik?
Hmm, untuk lebih jelasnya, akan
diuraikan penjelasannya berikut ini.
Teknologi
baterai berbahan gelas ini ditemukan oleh Dr. Evvy Kartini. Di kalangan
internasional, ia memiliki reptasi terhormat. Ia dikenal sebagai ilmuan penemu
penghantar listrik berbahan gelas dengan teknik hamburan netron yang berdaya
hantar sepuluh ribu kali lipat dari bahan sebelumnya. Peluangnya itu membuka
peluang produksi isi ulang. Material kaca yang lebih elastis, secara logka
dapat dibentuk semungil dan setipis mungkin. Sehingga baterai tidak lagi
identik berpenghantar elektrolit cair.
Baterai
isi ulang dipandang sebagai sumber energi ramah lingkungan di masa depan.
Betapa tidak, setiap perangkat elektronik portabel modern menggunakan baterai
sebagai sumber energi utamanya. Tak mengherankan jika para ilmuwan terus
berpacu melakukan riset dan pengembangan teknologi penyimpanan energi listrik.
Tak terkecuali ilmuwan Indonesia yang tak mau ketinggalan dalam riset dan
pengembangan teknologi dasar baterai isi ulang. Profesor Riset Badan Tenaga
Nuklir Nasional (Batan), Evvy Kartini, merupakan aset bangsa yang memiliki
reputasi terhormat sebagai penemu teknologi dasar baterai isi ulang di kalangan
ilmuwan berkaliber internasional.Awal Maret ini, Evvy
mendapatkan undangan sebagai pembicara tamu di India dan Singapura untuk
mendiskusikan perkembangan riset baterai mutakhir dan pemanfaatan teknik
nuklir. Dia berencana “terbang” selama dua pekan untuk bertemu para profesor di
sana. Mereka akan bertukar informasi tentang pemahaman baru mengenai solid
state ionics dan penemuan material baru. Solid state ionics merupakan bidang
sains dan teknologi yang pergerakan ionnya (ionics) sangat memegang peranan
penting.
Menurut Evvy, jika terjadi pada padatan
atau solid, pergerakan ion disebut solid state ionics. Solid state power ini
lebih aman, mudah dipakai, bebas dari kebocoran, dan dapat dibuat dalam dimensi
lebih kecil seperti lapisan tipis. Oleh sebab itu, bicara perkembangan riset
baterai isi ulang, lanjut Evvy, tidak lepas dari peran solid state ionics.
Pasalnya, pemanfaatan “cairan elektrolit” sebagai bahan baku baterai isi ulang
sebelumnya memiliki beberapa kelemahan, di antaranya rentan mengalami kebocoran
dan mudah terbakar apabila cairan tersebut terkena per cikan api.
“Maka, jika ‘padatan ionik’ ditemukan,
penemuan besar akan terjadi karena kehadiran all solid state ionic devices, all
solid state batteries, solid fuelcell, dan all solid capacitors sangat
diperlukan sebagai sumber energi masa depan,” kata perempuan yang menyandang
gelar doktor dari Fachbereich Physik, Technische Universitaet Berlin, Jerman,
ini.
Formula Gelas
Dewasa ini, para ilmuwan di dunia tengah
berlomba-lomba melakukan riset dan pengembangan solid state ionics.
Namun, kata Evvy, masalah utama riset
solid state ionics ialah pencarian padatan superionik untuk elektrolit padat
komponen baterai, yang memiliki konduktivitas tinggi pada suhu ruang. Untuk
itu, Evvy melakukan penelitian dan pengembangan gelas superionik sebagai
material baterai isi ulang. Gelas merupakan materi yang memiliki struktur acak
(disorder) yang dikenal manusia berabad-abad lalu, dan ditemukan di Mesir
sekitar 300 SM. Adapun gelas superionik terbentuk dari tiga komponen, yaitu
pembentuk gelas, pengubah gelas, dan garam dopan.
Gelas superionik ini memiliki beberapa
keunggulan dibandingkan dengan elektrolit polikristal, termasuk tidak memiliki
batas butir, mudah dibuat, memiliki suhu leleh rendah, dan konduktivitas ionik
tinggi pada suhu ruang. Sejauh ini, Evvy telah memberikan kontribusi cukup
besar dalam penelitian dan pengembangan gelas superionik (AgI)x(AgPO3)1-x lewat
program Riset Unggulan Terpadu yang didanai Kementerian Negara Riset dan
Teknologi. Dia memanfaatkan material NH3H2- PO4 dan AgNO3 yang dipanaskan dalam
furnace sampai meleleh pada suhu 400 derajat Celsius.
Lalu, formula tersebut didinginkan
dengan cepat dalam lingkungan nitrogen cair, sehingga menghasilkan gelas bening
dan transparan, yaitu AgPO3. “Jika ditambah AgI, produk gelas AgIAgPO3 berwarna
kuning transparan,” kata Evvy yang merampungkan postdoctoral dari Departemen
Fisika dan Astronomi Universitas McMaster, Hamilton, Kanada. Tahap uji coba
gelas supersonik tersebut di antaranya lewat karakterisasi material elektrolit
dan elektroda yang dihasilkan serta uji coba dalam performan baterai.
Karakterisasi paling penting adalah
menguji sifat listrik dari gelas yang dibuat. Contohnya AgPO3 dengan
konduktivitas ionik ~10E-7 S/cm (Siemen per sentimeter). Jika ditambah AgI
produk gelas AgI-AgPO3, konduktivitas meningkat sepuluh ribu kali menjadi
~10E-3 S/cm. Hal itu terjadi pada gelas konduktor ionik lainnya, seperti pada
gelas lithium LiPO3 dan LiI-LiPO3, walau konduktivitasnya lebih rendah dari
gelas berbasis perak.
“Fenomena kenaikan konduktivitas inilah
yang menjadi perhatian para peneliti di dunia untuk mengaji terjadinya proses
dinamika ion transport di dalam gelas superionik,” terang perempuan kelahiran
Bogor, 22 April 1965, itu.
Jantung
Penelitian
Berbagai karakterisasi gelas supersonik
telah dilakukan, di antaranya untuk memahami struktur kristal dan morfologi
dengan difraksi sinar-X dan Scanning Electron Microscope (SEM), sifat listrik
dan termal dengan LCR meter atau impedance spectroscopy, dan DSC (Diff erential
Th ermal Calorimetric).
Sifat tersebut diperlukan untuk
mengetahui kualitas bahan gelas yang dikembangkan. Namun, untuk mendalami
perpindahan (transport) ion dalam gelas superionik, diperlukan teknik nuklir.
Iptek nuklir yang penting dalam riset material adalah hamburan neutron. Dengan
pemanfaatan teknik nuklir, jelas Evvy, keberadaan struktur dalam atom (ukuran
angstrom atau sepersepuluh nanometer) dan bagaimana gerakan dan dinamika ion di
dalamnya bisa dijawab. “Riset dan pengembagan gelas supersonik dengan teknik
hamburan neutron ini merupakan jantung dari penelitian saya,” ujar Evvy.
Teknik
ini memiliki keunggulan dalam mempelajari struktur kristal dan dinamika ion
pada material. Sifat neutron yang tidak bermuatan dan ukuran panjang gelombang
netron yang setara dengan jarak antar-atom dalam kisi kristal memudahkannya
bergerak dan melihat apa yang terjadi di dalamnya.
Laboratorium
Terkemuka
Gelas superionik yang dikembangkan di
Indonesia dengan pelbagai teknik nuklir atau hamburan netron menggunakan
fasilitas internasional untuk menelitinya, di antaranya ISIS Rutherford
Appleton Laboratory Inggris, KEK Tsukuba Jepang, Chalk River Laboratory Kanada,
Hahn Meitner Institute Berlin Jerman, Bragg Institute ANSTO, Australia, J-PARC
JAEA Jepang, dan di Neutron Scattering Laboratory BATAN Indonesia.
Menurut Evvy, sifat dari gelas
superionik yang memenuhi kriteria sebagai padatan elektrolit bisa dimanfaatkan
sebagai elektrolit pada baterai isi ulang. “Kelebihan gelas superionik ramah
lingkungan, tidak mengandung unsur berbahaya, selain mudah dibuat, serta dapat
dibuat baterai lapisan tipis,” ujar Evvy. Baterai dengan material gelas
superionik bisa didesain sedemikian rupa hingga memiliki ketebalan seperti
kertas dengan luas sekitar ~ 5 mm (milimeter). Bahkan kapasitasnya bisa
mencapai ~ 200 μAh/ cm2 (mikro-ampere hours per sentimeter persegi).
Keunikan dari baterai lapisan tipis
dapat didepositkan secara langsung pada chip, pada sirkuit, dapat dibuat
berbagai bentuk dan ukuran, serta aman pada berbagai kondisi operasi. Karena
keunikan tersebut, baterai ini memiliki jangkauan aplikasi yang sangat luas
sebagai sumber daya, terutama bagi pengguna produk elektronik dan industri,
seperti produk medis, kartu pintar, dan sensor RFID. Namun, baterai dengan
material gelas superionik belum dipasarkan secara luas karena masih dalam tahap
riset.
Alasan lainnya ialah pengembangan
material elektroda dan lapisan tipis baterai merupakan hasil kerja sama
beberapa institusi di luar negeri sehingga tidak dapat langsung dipasarkan
secara umum. “Ke depan, harga baterai lapisan tipis ini pun akan sangat
tergantung karena memang belum ada di pasaran,” tutup Evvy.
Sumber Energi
Mobil Masa Depan
Energi merupakan sumber kehidupan yang
sangat vital sepanjang masa. Sektor energi merupakan komponen utama dalam dunia
industri sehingga memiliki peran besar dalam peningkatan kesejahteraan
masyarakat. Walau begitu, pemanfaatan energi tetap harus memenuhi persyaratan
ramah lingkungan. Harapan pemanfaatan energi listrik ramah lingkungan itu
tumbuh sejak Sony memperkenalkan baterai lithium isi ulang pada 1990. Kini,
hasil riset dan pengembangan desain sel dan rekayasa baterai lithium isi ulang
menunjukkan performa yang sangat signifi kan. Baterai isi ulang dengan
kerapatan tinggi merupakan pilihan terbaik dan memiliki potensi pasar cukup
besar.
Pasalnya, pasar masa depan membutuhkan
baterai yang memiliki kerapatan energi tinggi dan kecepatan tinggi. Karena itu,
teknologi nano pada baterai lapisan tipis akan mendunia pada masa mendatang.
Generasi baterai paling mutakhir ukurannya lebih kecil, bobotnya lebih ringan,
dan mampu menyimpan muatan lebih banyak. Pencapaian teknologi baterai lithium
isi ulang ini ditunjukkan dengan semakin banyaknya peralatan elektronik mini
yang memanfaatkannya. Tak heran jika sekarang ini baterai lithium isi ulang
telah menguasai pasaran industri elektronika, seperti telepon seluler, kamera
digital, laptop, dan ipod.
Bahkan, perkembangan teknologi baterai
telah memicu tren kendaraan listik hibrida pada masa mendatang yang lebih ramah
lingkungan. “Salah satu peran teknologi baterai dalam sektor transportasi
adalah penggunaan kendaraan listrik dengan kapasitas 17 sampai 40 MWh untuk
mengurangi emisi karbondioksida (CO2),” ukap Profesor Riset dari Badan Tenaga
Nuklir Nasional (Batan) Evvy Kartini.
Sumber:
0 komentar:
Posting Komentar